Domestikasi


PENDAHULUAN

Secara biologis, manusia dengan binatang ternak tidak memiliki perbedaan. Keduanya merupakan jenis makhluk hidup yang berjenis hewan. Akan tetapi manusia boleh berbangga hati, karena Allah menganugerahinya akal fikiran yang membuat manusia bisa memanfaatkan binatang ternak, namun tidak sebaliknya. Secara anatomis manusia sebenarnya tidak benar bila berkagum-kagum diri, karena anggota-anggota tubuh yang dipunyainya, dipunyai pula oleh binatang ternak.

Moralitaslah yang membuat manusia menjadi benar-benar berbeda dengan binatang ternak. Bagi binatang ternak, hidup bebas sebebasnya tanpa aturan adalah pola hidupnya, akan tetapi bagi manusia alur hidupnya terkontrol oleh aturan tata nilai kebenaran, yang secara fitrah dipancarkan oleh hati nuraninya. Dan dengan akal fikirannya, manusia dapat mengendalikan tarikan instink biologis kebinatangannya, sehingga menjadi teratur berada dalam norma-norma yang ada. Tanpa moral, maka hidup manusia tidak lebih dari hidupnya seekor binatang ternak, bahkan Allah menjaminkannya sebagai para penghuni neraka di akhirat kelak.
Adanya bangsa ternak asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil buruan.
Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Namun pengetahuan tentang kapan dimulainya proses domestikasi dan pembudidayaan ternak dari hewan liar, masih langka.
Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan terhadap hewan liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu, domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi objeknya.
Perkiraan awal domestikasi hewan dilakukan arkeolog berdasarkan nalar logika dari hasil temuan di situs purbakala. Bukti tertua adanya hewan peliharaan adalah kerangka anjing berusia sekitar lima bulan di sisi kerangka seorang perempuan yang ditemukan di dekat Ain Mahalla (Israel), yang berusia hampir 10.000 tahun SM. Kerangka-kerangka anjing dari masa antara 8.000 dan 7.000 SM juga ditemukan pada situs-situs purbakala di banyak tempat. Kerangka kucing peliharaan tertua ditemukan di Siprus, berasal dari sekitar 6.000 tahun SM. Diperkirakan, kucing dipelihara untuk mengatasi gangguan tikus di lumbung pangan. Perkiraan untuk hewan ternak domestik adalah 7.000 SM pada domba dan kambing. Terlihat bahwa dulu hewan tersebut memiliki tanduk yang melengkung, yang pada ternak modern telah berubah menjadi pendek saja akibat seleksi.
PENGERTIAN DOMESTIKASI
A.    Pengertian Istilah Hewan, Binatang dan Ternak
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian dan proses domestikasi ternak. Ada perbedaan arti secara definisi ilmu peternakan antara hewan, binatang, dan ternak. Hewan adalah segala mehluk hidup selain manusia, yang hidup baik didaratan maupun dilautan yang tidak dapat membuat makanan sendiri.
Sedangkan definisi dari binatang adalah semua hewan yang hidup di darat dan belum mengalami penjinakan oleh manusia atau masih hidup di alam liar (hutan). Sehingga dalam kehidupanya belum dapat diatur dalam hal pakanan, reproduksi atau perkembangbiakan, dan tempat tinggalnya. Sehingga belum dapat dimanfaatkan secara luas oleh manusia.
Ternak secara definisi adalah semua hewan yang sudah dijinakkan oleh manusia atau melalui proses domestikasi. Ternak sudah dapat diatur dalam hal pakan, perkembangbiakan dan tempat tinggalnya, selain itu ternak dapat diolah dan diambil manfaatnya untuk keperluan hidup manusia. Baik diambil daging, telur, susu, kulit, bulu, tenaga, maupun kecantikan atau keindahanya.
Oleh karena itu terdapat perbedaan yang jelas antara hewan, binatang dan ternak ditinjau dalam ilmu peternakan. Sehingga dengan adanya ternak akan membawa manusia pada era industrialisasi modern dalam penyediaan pangan serta produk-produk industri lainnya. Program pemuliaan ternak dan rekayasa gen yang andal, pengetahuan manajemen yang wahid, ilmu pakan yang bermutu tinggi, dan berbagai produk makanan dari hasil ternak tidak dapat diremehkan peranannya. Pengetahuan manusia tentang binatang ternak jika dihimpun dari dulu sampai sekarang barangkali tidak lebih dari sebutir debu di padang pasir yang luas. Hanya Allah-lah yang mengetahui semuanya itu, karena Allah-lah yang menciptakan semuanya itu dari tidak ada menjadi ada.
B.     Pengertian Domestikasi
Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan terhadap hewan liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu, domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi objeknya.
Domestikasi adalah keadaan dimana breeding, pemeliharaan dan pemberian pakan berada dibawah pengawasan manusia (Hale, 1969). Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan dengan kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan bahan pakaian), serta sebagai komoditi perdagangan.
Domestikasi tumbuhan maupun hewan adalah sebuah proses panjang, yang memerlukan waktu lama serta dana dan daya yang besar. Di dalamnya terlibat berbagai kegiatan penelitian yaitu : inventarisasi, karakterisasi, kajian potensi, seleksi, penangkaran, dan pemuliaan untuk pemanfaatan berkelanjutan. Sebagai gambaran, tanaman kelapa sawit memerlukan proses domestikasi selama lebih dari 100 tahun untuk dapat dimanfaatkan secara ekonomi seperti sekarang ini. Sebaliknya ada beberapa jenis tumbuhan yang tidak memerlukan waktu lama untuk dapat didomestikasi, sebagai contoh adalah Aglaonema sp. ternyata hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 3 tahun untuk menjadi tanaman hias.
Pengalaman mengajarkan bahwa domestikasi secara konvensional memerlukan waktu yang panjang, karena itu dibutuhkan suatu terobosan untuk mempercepat proses domestikasi antara lain melalui teknik pemuliaan dan rekayasa genetika. Oleh karenanya, untuk menjamin percepatan proses domestikasi diperlukan program penentuan prioritas yang didukung komitmen oleh semua pihak yang terkait, serta dukungan dana dan sumber daya serta pengetahuan dan teknologi yang memadai.
Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya.  Tingkatan dimaksud, sebagaimana berlangsung pada ikan, adalah sebagai berikut.
1.      Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup ikan sudah dapat berlangsung dalam sistem budidaya.
2.      Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah.
3.      Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem budidaya.
PROSES DAN PENGARUH DOMESTIKASI
A.    Proses Domestikasi Ternak
Bersama dengan domestikasi tumbuhan penghasil pangan, domestikasi hewan adalah salah satu langkah penting yang dilakukan umat manusia. Di dunia, praktis hanya dua lokasi yang pernah melakukan domestikasi awal hewan ternak yang dilakukan sebelum budidaya tanaman pangan dilakukan, yaitu Asia Barat Daya (untuk domba, kambing, sapi, dan babi) dan Datara Tinggi Andes (untuk alpaka dan llama.
Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan dengan kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan bahan pakaian), serta di kemudian hari sebagai komoditi perdagangan. Menurut ahli biologi Jared Diamond(2004), hewan harus memenuhi enam kriteria agar dapat dipertimbangkan untuk didomestikasi:
1.      Pakannya mudah didapatkan. Hewan tersebut harus mau memakan makanan yang berada di luar piramida makanan manusia (gandum atau jagung), pakannnya tidak digunakan oleh manusia (rumput, dan sebagainya), dan ekonomis untuk penyimpanannya.
2.      Pertumbuhannya dengan cepat sehingga mempercepat proses perkembangbiakkan dan dimanfaatkan. Hewan besar seperti gajah membutuhkan waktu tahunan hingga dapat dipergunakan.
3.      Memungkinkan untuk dikembangbiakkan dalam penangkaran.
4.      Tidak agresif.
5.      Tidak mudah stres.
6.      Memiliki hierarki sosial yang dapat dimodifikasi.
Karena syarat-syarat itulah, kebanyakan domestikasi dilakukan pertama-tama untuk keperluan kesenangan semata sebagai hewan timangan (pet). Banyak jenis ikan dan reptilia masa kini mulai ditangkarkan untuk keperluan sebagai peliharaan, namun perilaku liarnya masih terbawa hingga sekarang. Domestikasi memerlukan puluhan generasi untuk mendapatkan galur-galur yang benar-benar adaptif dengan lingkungan buatan manusia, dikarenakan domestikasi konvensional memerlukan waktu yang panjang.
Hewan Domestik Terpilih:
No
Hewan Peliaraan
Awal Proses
Mayong Liar
Tempat Awal
1
7.000 SM
Irak, Iran, Asia Barat Daya

(Ovis orientalis aries)



2
7.000 SM

(Capra aegagrus hircus)



3
Anatolia, Asia Barat Daya

(Sus scrofa domestica)



4
6.500 SM

Asia Barat Daya dan Eropa,

(Bos primigenius taurus)


India, Timur Tengah, and Sub-Sahara
5
6.000 SM
Sungai Indus, Asia Tenggara

(Gallus gallus domesticus)



6
4.000 SM
Ukrainadan padang Eurasia

(Equus ferus caballus)



7
4.000 SM

(Bubalus bubalis)



8
3.000 SM
Jazirah Arab dan Asia Tengah
9
2.500 SM

(Bos javanicus)



Sumber: Ronnie Liljegren. Die Domestizierung von Tieren. Dalam: Göran Burenhult (2004). Menschen der Urzeit. Karl Müller.
Ada beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming:
1.      Game ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen. 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu, umumnya jebis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatag kesayangan, seperti burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).
2.      Pola yang kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk menghasilkan produk-produk seperti tanduk, kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjtnya pengembanganya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu ;
1.       Obyek (satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak, kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan sertta pemanfaatannya.
2.       Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia.
3.       Tenaga terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengeloalaan pada proses penangkaran.
4.       Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam proses pemasaran produk.
Penangkaran dalam rangka budi daya dilakukan dengan sasaran utama komersil terutama dari segi peningkatan kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan pasar. Metode ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi, seperti : inseminasi buatan, tranplantasi embrio, agar dapat dihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan.
Suatu alasan yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain, Hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan domestikasi/penangkaran adalah anggapan bahwa satwa liar tidak dapat didomestikasikan adalah karena kualitas keliaran. Hal ini sama sekali tidak benar, sebab mamalia liar dapat dijinakan sama mudahnya seperti yang lain (Ertingham. 1984).

B.     Perubahan Yang Disebabkan Oleh Domestikasi
Perkembangan usaha peternakan telah sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang diusahakan untuk diambil hasilnya. Manusia telah mendomestikasi 20 – 3000 spesies hewan. Hewan yang didomestikasi harus menerima sejumplah perubahan dalam pola kehidupanya, sebab manusia memelihara hewan tersebut untuk diambil hasilnya. Hal ini telah diringkas oleh Kilgour dan Dalton (1984), yang meliputi:
a)      Pengawasan terhadap breeding
Mengurangi jumplah pejantan dan atau menggunakan inseminasi buatan. Dengan teknologi alih janin, betina dapat melahirkan anak tanpa adanya pejantan (diinseminasi).
b)      Bentuk perubahan kemampuan hidup
Ternak yang lemah dapat ditolong untuk hidup, penyakit dan parasit dapat dikontrol.
c)      Perubahan nutrisi
Kwantitas dan kwalitas pakan dimanipulasi dan jenis pakan dapat dikurangi.
d)     Seleksi genetika
Hal ini dapat merubah hewan tersebut lain dari sesamanya dalam keadaan liar.
e)      Pengurangan dalam pemilikan bebas
Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya: daging, minyak, gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran tersebut, sehingga kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan bahan pakaian), serta di kemudian hari sebagai komoditi perdagangan bagi manusia dapat terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA 

   http://teknologi.kompasiana.com/group/terapan/2010/09/08/. Robinson dan Bolen. 1984. pemanfaatan plasma-nutfah-peternakan-dengan-domestikasi/. Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.00 WIB.
     http://aagguussdaus.blogspot.com/2009/12/domestikasi-sapi-madura.html. Ertingham. 1984. Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.10 WIB.
     http://id.wikipedia.org/wiki/Domestikasi. Zairin. 2003.
Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.15 WIB.
     http://drhyudi.blogspot.com/2010/09/sejarah-usaha-peternakan-di-indonesia.html. Jared Diamond. 2004.
Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.00 WIB.




Rabu, 8 Desember 2010 - Karena perilaku sosial memiliki komponen genetik, suatu sifat sosial memiliki kemampuan untuk menjalankan seluruh generasi dan berevolusi.


Kemampuan mentolerir agresi sebagian adalah bersifat genetik, demikian menurut ilmuwan hayati UCLA dalam studi pertama yang menunjukkan komponen genetik pada sifat jaringan sosial dalam populasi non-manusia.
“Kemampuan untuk mentolerir agresi diturunkan dari generasi ke generasi, terdapat variasi genetik dalam kemampuan agresi mentolerir,” kata rekan penulis studi, Daniel T. Blumstein, profesor dan kepala ekologi dan biologi evolusi di UCLA.
Blumstein, pemimpin dalam bidang penerapan statistik jaringan sosial pada hewan, bersama koleganya mempelajari empat kelompok marmut berperut kuning, yang berkerabat dengan tupai. Studi ini dilakukan lebih dari enam tahun di Pegunungan Rocky Colorado. Setiap kelompok meliputi 15 hingga 30 ekor marmut.
Untuk mempelajari perilaku sosial hewan, ahli biologi menerapkan jenis statistik jaringan sosial yang sama yang digunakan oleh Google dan Facebook dalam mempelajari tingkah laku manusia.
“Kami memperoleh wawasan baru ke dalam pentingnya mentoleransi interaksi agresif,” kata Blumstein. “Hubungan itu adalah penting bagi stabilitas sosial dan keberhasilan reproduksi. Saya percaya ide ini digeneralisasikan melampaui marmut.”
Penelitian ini, yang didanai oleh National Science Foundation dan National Geographic Society, telah dipublikasikan dalam edisi awal jurnal online Proceedings of the National Academy of Sciences dan akan muncul pada tanggal 14 Desember dalam edisi cetak jurnal.
Penulis utama makalah ini, Amanda Lea, seorang mantan mahasiswi UCLA yang kini menjabat asisten peneliti dalam biologi ekologi dan evolusi, menghabiskan dua musim panas untuk mengamati marmut selama empat jam sehari dan menganalisis perilaku mereka – dilakukan dari jarak yang cukup jauh agar tidak mempengaruhi perilaku mereka.
“Kami menemukan bahwa memiliki interaksi yang ramah, banyak memberi manfaat bagi kebugaran marmut – marmut-marmut ini lebih banyak bereproduksi. Tapi yang mengherankan, kami menemukan bahwa marmut yang terlibat dalam jaringan interaksi yang tidak ramah juga menunjukkan tingkat kebugaran yang lebih tinggi,” kata Lea. “Selama seumur hidup, seekor marmut yang sangat sosial akan memiliki keturunan lebih banyak daripada yang kurang sosial. Tapi herannya, seekor marmut yang sering memilih pun demikian.”
“Unit keluarga adalah penting, bahkan jika interaksi mereka tidak selalu menyenangkan,” kata Blumstein.
Seperti manusia, beberapa marmut cukup ramah, beberapa tetap untuk diri mereka sendiri dan yang lainnya lebih agresif, kata Lea. Mereka hidup dalam kelompok keluarga, pengantin pria dengan yang lainnya, duduk berdampingan satu sama lain, bermain bersama dan, lebih jarang, berkelahi. Mereka hidup hingga 15 tahun, kata Blumstein.
Marmut betina biasanya memiliki 3-9 keturunan dalam setahun dan bisa menghasilkan 60 keturunan selama seumur hidup. Beberapa pejantan bisa memiliki sebanyak 150 keturunan atau lebih, meskipun sebagian besar jauh lebih sedikit, kata Blumstein.
Blumstein, Lea dan para kolega menerapkan statistik jaringan sosial, analisis komputasi dan genetik kuantitatif pada perilaku sosial marmut. Mereka meneliti, misalnya, apakah interaksinya ramah atau agresif, dan mereka menerapkan teknik statistik sains untuk memperkirakan heritabilitas sifat dan apakah sifat tertentu berkorelasi dengan keberhasilan reproduksi.
Bersama rekan-rekannya, Blumstein, yang telah mempelajari marmut selama lebih dari 20 tahun untuk studi tentang biologi dan evolusi mereka, menghitung komponen genetik untuk perilaku sosial marmut. Faktor-faktor genetik beberapanya terdapat perbedaan 10 persen di antara marmut, sedangkan sekitar 20 persen variasinya disebabkan oleh lingkungan sosial.
“Terdapat komponen genetik untuk perilaku sosial tertentu, dan kami telah menghitungnya,” kata Blumstein.
Karena perilaku sosial memiliki komponen genetik, suatu sifat sosial memiliki kemampuan untuk menjalankan seluruh generasi dan berevolusi.
“Statistik jaringan sosial bisa menjadi cara yang berguna untuk mempelajari berbagai hewan dan memahami evolusi sosial,” kata Blumstein. “Studi ini menunjukkan bahwa sifat-sifat yang kami definisikan dengan menggunakan analisis jaringan sosial, dapat berevolusi, dan belum pernah ada yang menunjukkan hal seperti ini sebelumnya.”
Para ilmuwan hayati membuat prediksi dan menemukan beberapa hasil yang mengejutkan.
“Kami memperkirakan bahwa hubungan langsung dan cepat, di mana suatu individu memiliki kendali, mungkin memiliki heritabilitas yang lebih tinggi (secara genetik) dari hubungan tidak langsung,” kata Blumstein.
“Kami menemukan bahwa tindakan langsung diwariskan dan tindakan tidak langsung tidak diwariskan, kami menduga akan hal ini,” katanya. “Namun, dalam hubungan langsung, Anda mungkin berharap bahwa hal yang saya lakukan pada Anda, hal-hal di mana saya memiliki kendali, akan memiliki heritabilitas yang signifikan, tapi apa yang kami temukan adalah sebaliknya: kemampuan untuk mentolerir agresilah yang diwariskan, dan kami menemukan hal yang menarik itu. Toleransi agresi adalah, secara mengherankan, sangat penting pada marmut dan mungkin pada spesies lain.”
“Banyak orang mungkin tidak mengakui manfaat dari interaksi agresif, bahkan jika Anda berada di sisi penerima,” kata Lea.
Blumstein mengatakan bahwa temuan ini berimplikasi penting untuk mengapa hewan bersifat sosial.
Marmut-marmut di Colorado ini telah diteliti sejak tahun 1962 – salah satu penelitian hewan yang paling lama. Blumstein telah mempelajari marmut di seluruh dunia, dan yang satu ini selama lebih dari satu dekade.
“Setelah kami memiliki silsilah yang bagus, pemahaman yang baik tentang hubungan genetik di antara mereka, kami bisa mengajukan pertanyaan tentang berbagai perilaku heritabilitas – kemampuan perilaku yang akan diwariskan dari generasi ke generasi,” katanya.
Mengapa Blumstein mengabdikan begitu banyak penelitian untuk mempelajari hewan-hewan ini?
“Sebagian besar spesies tidak memiliki tempat tinggal tetap, tapi marmut punya, dan karena mereka memiliki tempat tinggal, Anda bisa mengatur kemah dan mempelajari mereka,” katanya. “Anda dapat pergi ke dalam liang mereka setiap hari dan menyaksikan mereka. Kita bisa belajar banyak tentang evolusi, nilai adaptif sosialitas serta nilai adaptif komunikasi yang kompleks dengan mempelajari marmut dan tupai tanah.”
prilau
Perilaku meliputi aktivitas yang dapat diamati, baik yangberkenaan dengan gerak ataupun tidak, sepertipenyimpanan memori dalam otak hewan

Comments